"AL-SYIRKAH"
"Perkongsian Berbasis Syari'ah"
Oleh: Fajar Abdul Bashir
A. Pendahuluan
Untuk mengawali pembahasan ini, akan kita kutib sebuah teks pengantar yang ditulis oleh Ibnu al-Rusydi dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid sebagai bahan acuan dari pada materi yang akan kita bahas. Teks tersebut adalah demikian;
وَالنظْرُ فِى الشِرْكَةِ فِى اَنْوَاعِهَا, وَفِى أَرْكَانِهَا الْمُوْجِبَةِ لِلصِحَةِ فِى اْلأَحْكَامِ, وَنَحْنُ نَذْكُرُ مِنْ هَذِهِ اْلأَبْوَابِ مَا اتفَقُوْا عَلَيْهِ, وَماَ اشْتَهَرَ الْخِلاَفُ فِيْهِ بَيْنَهُمْ عَلَى مَا قَصَدْناَهُ فِى هَذَا الْكِتاَبِ.
وَالشِرْكَةُ بِالْجُمْلَةِ عِنْدَ فُقَهَاءِ اْلأَمْصَارِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَنْوَاعٍ: شِرْكَةُ اْلعَنَانِ, وَشِرْكَةُ اْلأَبْدَانِ, وَشِرْكَةُ الْمُفاَوَضَاةِ, وَشِرْكَةُ الْوُجُوْهِ. وَاحِدَةٌ مِنْهَا مُتَفَقٌ عَلَيْهِ وَهِىَ شِرْكَةُ الْعَنَانِ, وَاِنْ كَانَ بَعْضُهُمْ لَمْ يَعْرِفْ هَذاَ اللفْظَ, وَاِنْ كَانُوْا اخْتَلَفُوْا فِى بَعْضِ شُرُوْطِهَا عَلَى مَا سَيَأْتِى بَعْدُ. وَالثلاَثَةُ مُخْتَلاَفٌ فِيْهَا, وَمُخْتَلاَفٌ فِى بَعْضِ شُرُوْطِهَا عِنْدَ مَنْ اتفَقَ مِنْهُمْ عَلَيْهَا.
"Dalam buku ini akan membahas al-syirkah (perkongsian), yaitu tentang macam-macam perkongsian dan ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan agar perkongsian sah secara hukum. Dan dalam bab ini, kami akan membicarakan tentang hal yang telah disepakati oleh para Ulama dan hal yang umum diperselisihkan, tentunya disesuaikan dengan setiap permasalahn-permasalahn yang akan kami bahas dalam buku ini. Secara umum, para ulama membagi akad kerjasama (syirkah) menjadi empat macam, (1) kerjasama dalam harta benda, (2) kerjasama dalam tenaga (abdan), (3) kerjasama dalam laba (mufawadlah), dan (4) kerjasama dalam kekuasaan (wujuh). Macam kerjasama yang pertama (kerjasama dalam harta benda) para ulama sepakat mempebolehkan, meskipun masih terdapat perbedaan dalam hal syarat-syaratnya. Sedangkan macam kerjasama yang lain, terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang boleh dan tidaknya, juga terjadi perbedaan dalam syarat-syaratnya bagi ulama yang sepakat memperbolehkan".
Dalam pengantar tersebut dapat diindentifikasi, bahwa Ibnu al-Rusydi mencoba memetak-metakan pembahasan al-syirkah menjadi beberapa bagian, (1) macam-macam al-syirkah dan ketentuanya, (2) macam al-syirkah yang disepakati oleh ulama), dan (3) macam al-syirkah yang tidak disepakati.
Sebelum membahas panjang lebar tentang apa itu akad al-syirkah, alangkah lebih baik apa bila kita ketahui terlebih dahulu landasan atau dasar pijakan hukumnya, baik landasan dari Al-Qur'an maupun Al-Hadits. Dari Al-Qur'an, Allah SWT berfirman dalam Q.S. An-Nisa' ayat 12;
”Maka mereka berserikat dalam sepertiga”. (Q.S. An-Nisa’ : 12)
Ayat ini sebenarnya tidak memberikan landasan syariah bagi semua jenis syirkah, ia hanya memberikan landasan kepada al-syirkah al-jabariyyah, yaitu perkongsian beberapa orang atas harta benda yang terjadi di luar kehendak mereka karena mereka sama-sama mewarisi harta pusaka. Dalam Q.S. Shad:24, Allah juga berfirman;
"Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berkongsi itu benar-benar berbuat zalim kepada sebagian lainnya kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh". (Q.S. Shad: 24)
Ayat ini mencela perilaku orang-orang yang berkongsi atau berserikat dalam berdagang dengan menzalimi sebagian dari mitra mereka. Dari dua ayat al-Qur’an di atas, jelas menunjukkan bahwa al-syirkah pada hakekatnya diperbolehkan oleh risalah-risalah yang terdahulu dan telah dipraktekkan.
Sedangkan dalil/dasar dari Al-Hadits adalah, hadits qudsi dari Abu hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda;
Dari hadits kudsi dan hadist Saib tersebut telah menunjukkan bahwa perkongsian(al-syirkah) memang telah dipraktekkan oleh Rasulullah dan diperbolehkan dalam Islam. Menanggapi masalah ini (al-syirkah) berdasarkan dalil-dalil di atas, maka para ulama telah sepakat (ijma') bahwa akad/perjanjian perkongsian hukumnya diperbolehkan, hanya saja mereka berbeda pandangan dalam hukum jenis-jenis al-syirkah yang banyak macam dan coraknya.
Pada prinsipnya syirkah itu ada dua macam yaitu syirkah kepemilikan(amlak) dan syirkah perjanjian/akad (uqud). Syirkah kepemilikan sendiri ada dua macam yaitu jabariyyah (secara otomatis) seperti harta warisan, dan ikhtiariyah(kesengajaan) seperti hasil membeli barang secara bersama. Sedangkan syirkah uqud/perjanjian adalah perkongsian yang terjadi karena kesepakatan dua orang atau lebih untuk berkongsi modal.
Syirkah perjanjian atau perkongsian memiliki banyak macam dan fariasi yaitu syirkah ‘Inan, Mufawadhoh, Abdan, dan Wujuh.
Syirkah 'Inan atau perkongsian harta benda adalah kerjasama dua orang atau lebih dalam harta benda untuk diperdagangkan dan mencari keuntungan bersama. Syirkah "inan merupakan macam syirkah yang disepakati oleh para ulama (ijma') atas kebolehannya. Adapun syrata-syarat syirkah 'Inan adalah sebagai berikut;
1.1. Adanya akad (kesepakatan) dalam izin berniaga (tasharruf) dari kedua belah pihak yang bersekutu/berkerjasama. Menurut pendapat yang lebih shahih dari madzhab Syafi'i, jika hanya kesepakatan mencampur harta benda tanpa adanya kesepakan berniaga, maka akad tidak sah.
1.2. Kedua belah pihak harus mempunyai kecakapan hukum (ahl al-tasharruf). Sebab pada hakekatnya mereka berdua adalah muwakil (orang yang mewakilkan) dalam hartanya masing-masing dan wakil dalam memperdagangkan harta orang lain.
1.3. Harta benda yang dicampur merupakan harta benda yang sama jenisnya (mitsliy) seperti mata uang atau bahan mentah lainya seperti beras atau gandum. Namun menurut pendapat lain, akad al-syirkah hanya khusus pada mata uang.
1.4. Bercampurnya harta benda sedemikian rupa sehingga tidak dapat dibedakan antara harta satu dengan yang lain. Untuk itu, harta benda yang dijadikan perkongsian diwajibkan harus yang sama jenisnya(mitsliy). Percampuran harta benda harus dilakukan sebelum dilaksanakanya perjanjian (akad). Percampuran harta benda setelah dilakukannya perjanjian, menurut pendapat yang lebih shahih (al-ashah) dalam madzhab Syafi'iyyah tidak dapat dibenarkan (tidak sah). Namun menurut Abu Hanifah, percampuran harta secara fisik tidak disyaratkan. Bagi yang berserikat cukup menyatakan dalam perjanjian (akad) bahwa mereka telah sepakat berkongsi bersama meskipun harta mereka masih dalam pegangan masing-masing.
1.5. Kedua belah pihak mempunyai hak yang sama dalam pengalokasian harta benda, dengan syarat tidak ada unsur merugikan.
1.6. Keuntungan dan kerugian ditanggung bersama-sama sesuai dengan kadar modal masing-masing. Dalam akad syirkah 'inan, harta benda yang dibuat modal tidak disyaratkan sama jumlah dan kadarnya, seperti contoh si A berinfestasi 100 juta, dan si B berinfestasi 50 juta. Hanya saja tentang masalah keuntungan atau kerugian ditanggung sesuai dengan prosentase modal masing-masing.
Pengertian Syirkah Mufawadhah adalah kedua belah pihak yang berkongsi menyerahkan kekuasaan pada masing-masing pada harta mereka untuk mengalokasikannya tanpa adanya percampuran harta, dan dengan konsekuensi/resiko yang ditanggung bersama. Syirkah Mufawadlah sebenarnya hampir sama dengan syirkah 'inan, hanya satu perbedaanya yaitu tidak adanya unsur percampuran harta.
Syirkah Mufawadlah menurut Abu Hanifah dan Imam Malik hukumnya diperbolehkan. Abu Hanifah beralasan bahwa percampuran dua harta secara fisik tidak merupakan syarat dalam akad syirkah, asalakan secara mereka telah sepakat dengan perjanjian (akad) akan melakukan perkongsian, maka akad syirkah tetap sah dan diperbolehkan, meskipun tidak ada percampuran harta benda secara fisik. Lain halnya dengan Imam Malik, beliau memberi alasan bahwa syirkah mufawadlah secara hukum (hukmi) dengan terjadinya akad perjanjian telah terjadi percampuran harta, meskipun secara fisik harta masih ditangan masing-masing yang berkongsi.
Dengan demikian maka pada saat salah satu dari mereka mengalokasikan harta, sesungguhnya ia telah menjadi wakil dari bagian harta syirkah bukan atas nama pribadi. Sehingga dalam syirkah mafawadlah tetap disyaratkan adanya izin berniaga dari masing-masing pihak yang berkongsi. Hanya saja Abu Hanifah dan Imam Malik tidak selaras dalam maslah syarat kadar harta. Menurut Abu Hanifah, harta masing-masing yang berkongsi dalam syirkah mufawadlah harus sama, sedangkan menurut Imam Malik, harta modal masing-masing tidak harus sama.
Sedangkan menurut Imam Syafi'i, syirkah mufawadlah tidak diperbolehkan (tidak sah) karena tidak adanya unsur percampuran harta secara fisik. Percampuran harta secara fisik bagi Syafi'iyyah sangat diperlukan, meskipun keuntunganya dalam syirkah mufawadlah akan dikumpulkan (dicampur), akan tetapi keuntungan bukan merupakan pokok, karena keberadaan keuntungan hanyalah cabang hukum.
Syirkah Abdan adalah perkongsian/kerjasama di dalam pekerjaan bukan dalam harta benda, seperti kerjasama dalam membangun rumah, berjualan, atau menjahit. Dalam perkongsian macam ini tidak disyaratkan adanya kesamaan kadar pekerjaan, baik dalam profesi yang sama seperti sama-sama tukang kayu atau berlainan profesi seperti tukang cukur dengan tukang jahit yang menyewa satu ruko kemudian dimanfaatkan bersama, kemudian keuntungan dari masing-masing pekerjaan dibagi rata.
Syirkah Abdan atau perkongsian pekerjaan/profesi menurut Abu Hanifah dan Imam Malik diperbolehkan. Sedangkan menurut Imam Syafi'i, syirkah profesi seperti ini tidak diperbolehkan, dengan alasan bahwa akad syirkah menurut beliau hanya pada harta benda bukan pekerjaan. Sebab syirkah dalam pekerjaan amat sulit dibatasi dan disamakan kadarnya sehingga dapat memicu terjadi perselisihan (ghurur). Hal ini beda dengan alasan yang dilontarkan oleh Imam Malik, beliau memandang bahwa jika akad mudlarabah yang nota bene transakasi pada sebuah pekerjaan diperbolehkan oleh syari'at, maka tidak ada alasan untuk melarang akad syirkah profesi atau pekerjaan. Selain itu Imam Malik juga menggunakan dasar hadits Ibnu Mas'ud dan Said yang melakukan perkongsian dalam pekerjaan berperang untuk kemudian hasil jarahan dibagi berdua, dan hal tersebut telah diketahui oleh Rasulullah SAW.
Menanggapi alasan Imam Malik, Imam Syafi'i berpendapat bahwa akad syirkah sangat beda dengan akad mudlarabah sehingga tidak bisa disamakan hukumnya (qiyas), begitu juga masalah pada harta jarahan (ghanimah) tidak bisa disamkan dengan akad syirkah. Sedangkan Abu Hanifah tidak benyak komentar dalam mendasari pendapatnya, beliau hanya mengatakan bahwa syirkah dalam pekerjaan diperbolehkan.
Meskipun Abu Hanifah dan Imam Malik setuju akan diperbolehkanya akad syirkah perkerjaan (abdan) meskipun dengan alasan yang berbeda, namun terjadi perbedaan tentang syarat-syaratnya terutama masalah jenis pekerjaan. Menurut Abu Hanifah pekerjaan yang dikongsikan tidak harus sama, sehingga tukang jahit bisa berkongsi dengan tukang cukur. Sedangkan menurut Imam Malik mensyaratkan pekerjaan harus sejenis yaitu tukang jahit dengan tukang jahit, sebab jika pekerjaannya berbeda ditakurkan akan terjadi banyak penipuan(ghurur) yang akan mengakibatkan konflik.
Syirkah wujuh adalah perkongsian tanpa harta benda dan pekerjaan fisik. Mereka yang berkongsi hanya bermodalkan nama baik (reputasi) yang diraihnya karena kepribadiannya dan kejujurannya dalam berniaga. Syirkah ini terbentuk manakala ada dua orang atau lebih yang memiliki reputasi yang baik dalam bisnis memesan suatu barang untuk dibeli dengan sistem kredit (muajal) dan kemudian menjualnya dengan kontan. Keuntungan yang dihasilkan dari usaha ini kemudian dibagi menurut persyaratan yang telah disepakati antara mereka.
Menurut Abu Hanifah syirkah wujuh diperbolehkan, dengan alasan bahwa suatu amal/pekerjaan tidak harus secara fisik. Artinya, memesan barang dan menjualnya dengan bermodal reputasi menurut Abu Hanifah termasuk pekerjaan. Sedangkan menurut Imam Malik dan Syafi'i, syirkah tersebut tidak diperbolehkan. Beliau berdua mendasari dengan alasan bahwa al-syirkah al-wujuh sudah keluar dari rel perkongsian dimana harta benda dan pekerjaan fisik tidak dalam perkongsian tersebut. Modal berupa reputasi sangat sulit diperkirakan kadar dan ketentuanya, sehingga berpotensi terjadi penipuan dan perselisihan.
Al-Syirkah adalah perkongsian dua orang atau lebih baik berupa harta benda, pekerjaan, profesi, atau reputasi. Untuk syirkah harta benda atau disebut syirkah 'inan para ulama sepakat (ijma') memperbolehkan. Untuk syirkah pekerjaan dan profesi menurut Abu Hanifah dan Malik hukumnya boleh dan menurut Imam Syafi'i tidak boleh. Sedangkan syirkah reputasi (syirkah wujuh) hanya Abu Hanifah yang memperbolehkan, sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Syafi'i syirkah wujuh tidak diperbolehkan.
Kemudian yang perlu juga digarisbawahi adalah, bahwa akad syirkah merupakan transaksi perjanjian yang bersifat inisiatif dan suka rela (jaiz) bukan bersifat mengikat (lazim), sehingga apabila dalam perjalanan terjadi masalah dan salah satu dari anggota perkongsian itu hendak keluar dari keanggotaan perkongsian, maka diperbolehkan.
Referensi:
1. Abdurrahman al-Juzairi, Madzahib al-Aba'ah. Maktabah Al-Ashriyyah. Bairut. Libanon. 2003.
2. Ibnu ar-Rusydi, Bidayah al-mujtahid wa nihayah al-muqtashid. Maktabah al-Syuruq. Bairut. 2004.
3. Jalaludien Al-Mahaly, Qulyubi wa Umairah. TP. Semarang
4. Abu Zakariyya An-Nawawi, Tuhfatul Muhtaj fi al-syarh al-manhaj.. Maktabah Syamilah.
5. Sayyid Abu Bakar Syatha, I'anatutthalibin. TP. Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar