Jumat, 15 Juni 2012

berjihad di jalan Allah

Kita sama telah memahami bahwa hukum berjihad di jalan Allah adalah wajib, sebagaimana firman Allah:
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar”. (QS. al-Furqan: 52)


Allah sangat mencintai hamba-Nya yang rela mengorbankan hidup duniawi demi meraih kebahagiaan ukhrawi di sisi-Nya kelak. Karena memang Allah telah menjanjikan balasan yang amat sangat besar terhadap mereka yang menganggap rahmat dan ampunan Allah lebih utama dari diri dan harta yang mereka miliki di dunia ini. Sebagaimana firman Allah swt.:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah: 111)
Artinya, dalam hal ini penjual adalah orang-orang yang beriman, pembeli adalah Allah swt., harganya adalah surga, sementara barang dagangannya adalah amwal (harta) dan anfus (diri manusia). Barangkali semacam barter antara harta dan dan diri manusia dengan surga dari Allah swt.
Secara lahiriah, jihad diimplementasikan sebagai pembinaan kehidupan berasaskan Islam dalam setiap aspek kehidupan, meliputi; perekonomi Islam, sistem dan tata hidup berdasarkan Islam, pendidikan berasaskan Islam, kebudayaan bernafaskan Islam, dan lain sebagainya. Dalam mencapai ini semua, setiap manusia dituntut untuk bersungguh-sungguh ata berjihad dengan segala daya dan upaya, dan apabila harus berhadapan dengan pihak lain yang menantang diharuskan mengimbanginya walaupun dengan peperangan karena keadaan terpaksa.
Allah berfirman:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS. al-Baqarah: 190).
Firman-Nya pula:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” (QS. al-Hajj: 39).
Dan masih banyak lagi ayat-ayat al-Quran yang menerangkan tentang jihad dalam bentuk peperangan. Akan tetapi Rasulullah SAW. menekankan tentang adanya jihad batiniyah, yaitu jihad melawan hawa nafsu. Hal ini sebagaimana ucapan Rasulullah suatu ketika setelah beliau bersama sahabat dan laskar mujahidin Islam lainnya kembali dari sebuah peperangan dahsyat dengan kaum musyrikin, Rasulullah SAW bersabda :
“Kita baru kembali dari satu peperangan yang kecil untuk memasuki peperangan yang lebih besar”. Sahabat terkejut dan bertanya, “Peperangan apakah itu wahai Rasulullah ?”  Beliau menjawab: “Peperangan melawan hawa nafsu.” (HR. al-Baihaqi).
Jihad melawan hawa nafsu dipandang lebih besar daripada jihad melawan orang-orang kafir, diantaranya disebabkan oleh beberapa hal berikut:
  1. Bila gagal, maka iman seseorang akan semakin berkurang.
  2. Bila gagal, maka neraka adalah ancamannya.
  3. Hawa nafsu tidak terlihat dan terkadang dianggap benar.
  4. Hawa nafsu selalu berada dalam diri manusia.
Melawan hawa nafsu atau mujahadatun nafsi sangat susah. Mungkin kalau nafsu itu ada di luar jasad kita dan bisa kita pegang, barangkali kita dapat dengan mudah menghancurkannya. Akan tetapi nafsu kita itu ada di dalam diri kita sendiri, mengalir dalam aliran darah dan menguasai seluruh tubuh kita. Oleh karena itu tanpa adanya kesedaran dan keinginan yang sungguh-sungguh untuk melawan hawa nafsu, kita pasti dikalahkannya dan tidak tertutup kemungkinan kita diperalat dan diperhamba oleh hawa nafsu.
Nafsu jahat dapat dikenal melalui sifat keji dan kotor yang ada pada diri manusia. Seperti firman Allah:
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53).
Dan hal ini dikuatkan lagi oleh sabda Rasulullah; “Musuh yang paling memusuhi kamu adalah nafsu yang ada di antara dua lambungmu “.
Dalam ilmu tasawuf, nafsu jahat dan liar itu dikatakan sifatmazmumah. Di antara sifat-sifat mazmumah itu ialah sum’ah, riya’, ujub, cinta dunia, gila pangkat dan jabatan, gila harta, banyak bicara yang tak berguna, banyak makan, suka menghasud, iri dan dengki, egois tinggi, pendendam, buruk sangka, mementingkan diri sendiri, pemarah, bakhil, sombong dan lain sebagainya. Sifat-sifat itu melekat pada hati seseorang laksana daki yang melekat pada kulit. Kalau kita malas mengikis sedikit demi sedikit sifat-sifat itu akan semakin tebal dan semakin sulit untuk dibersihkan.
Pada tahap selanjutnya, hawa nafsu ternyata menjadi pintu gerbang yang terbuka lebar bagi masuknya pengaruh syaithan dalam diri manusia tersebut yang menyebabkan seseorang semakin jauh dari kebenaran dan aqidah islamiyah. Inilah yang menjadi penghalang utama dan pertama seseorang jauh dari rahmat Allah, kemudian barulah syaitan dan golongan-golongan yang lain.
Begitu juga, melawan hawa nafsu lebih sulit daripada melawan musuh dalam selimut, karena musuh dalam selimut masih dapat dilihat. Sementara hawa nafsu berada dalam diri kita, persis seperti kita melawan diri sendiri. Di satu sisi kita harus hidup dengan sejumlah kebutuhan dan keinginan, namun di sisi lain kita juga harus memusuhi kebutuhan hidup apabila kebutuhan tersebut bertentangan dengan ketentuan dan ajaran Islam.
Hawa nafsu jahat senantiasa menjadi penghalang dalam setiap langkah hidup, tenaga pendorong yang mampu memutarbalikkan fakta dan kebenaran. Apabila tidak memiliki kontrol yang ketat, fakta dan kebenaran dapat saja menjadi sesuatu yang harus didustakan sehingga kehidupan menjadi gelap dan semakin tersesat dari kebenaran.
Oleh karena itu, kita dituntut untuk tetap menjadi raja bagi nafsu dan diri kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar