Sabtu, 30 Juni 2012

Keajaiban Sholat Tepat waktu dan sedekah





Banyak yang mau berubah, tapi memilih jalan mundur. Andakah orangnya? Semoga kisah berikut ini bisa memberikan hikmah yang luar biasa. Kisah orang yang ingin berubah dengan menempuh jalan maju. Maju menuju sumber keajaiban.

Satu hari saya jalan melintas di suatu daerah. Tertidur di dalam mobil. Saat terbangun, ada tanda pom bensin sebentar lagi. Saya pesen ke supir saya, “Nanti di depan ke kiri ya…”

“Masih banyak, Pak Ustadz…”

Saya paham. Supir saya mengira saya pengen beli bensin. Padahal bukan. Saya pengen buang air kecil. Begitu berhenti dan keluar dari mobil, ada seorang petugas security (satpam).

“Pak Ustadz!”, dari jauh ia melambai dan mendekati saya. Saya menghentikan langkah, menunggu beliau.

“Pak Ustadz, alhamdulillah nih bisa ketemu Pak Ustadz. Biasanya kan hanya melihat di TV saja…”. Saya senyum saja. Nggak ke-geer-an, insya Allah, he he he. “Saya ke toilet dulu ya”.

“Nanti saya ingin ngobrol, boleh Ustadz?”

“Saya buru-buru loh. Tentang apaan sih?”

“Saya bosan jadi satpam, Pak Ustadz.”

Sejurus kemudian saya sadar, ini Allah pasti yang “berhentiin” saya. Lagi enak-enak tidur di perjalanan, saya terbangun pengen pipis. Eh, nemu pom bensin. Akhirnya ketemu sekuriti ini. Berarti barangkali saya kudu bicara dengan dia. Sekuriti ini barangkali “target operasi” dakwah hari ini. Bukan jadwal setelah ini. Begitu pikir saya.

Saya katakan pada sekuriti yang mulia ini, “Ok, ntar habis dari toilet ya”.

***

“Jadi, bagaimana? Bosen jadi satpam? Emangnya nggak gajian?”, tanya saya membuka percakapan. Saya mencari warung kopi, untuk bicara-bicara dengan beliau ini. Alhamdulillah ini pom bensin bagus banget. Ada minimartnya yang dilengkapi fasilitas ngopi-ngopi ringan.

“Gaji mah ada Ustadz. Tapi masa gini-gini saja?”

“Gini-gini aja itu, kalo ibadahnya gitu-gitu aja, ya memang sudah begitu. Distel kayak apa juga, agak susah untuk merubahnya” .

“Wah, ustadz langsung nembak aja nih”.

Saya meminta maaf kepada sekuriti ini umpama ada perkataan saya yang salah. Tapi umumnya begitulah manusia. Rizki mah mau banyak, tapi sama Allah nggak mau mendekat. Rizki mah mau nambah, tapi ibadah dari dulu ya begitu-begitu saja.

“Sudah shalat Ashar?”

“Barus saja, Pak Ustadz. Soalnya kita kan tugas. Tugas juga kan ibadah, iya ga? Ya saya pikir sama saja.”

“Oh, jadi ga apa-apa telat ya? Karena situ (kamu) pikir kerja situ adalah juga ibadah?”

Sekuriti itu senyum saja.

Disebut jujur mengatakan itu, bisa ya bisa tidak. Artinya, sekuriti itu bisa benar-benar menganggap kerjaannya ibadah, tapi bisa juga tidak. Cuma sebatas omongan doang. Lagian, kalo menganggap kerjaan-kerjaan kita ibadah, apa yang kita lakukan di dunia ini juga ibadah, kalau kita niatkan sebagai ibadah. Tapi, itu ada syaratnya. Apa syaratnya? Yakni kalau ibadah wajibnya, tetap nomor satu. Kalau ibadah wajibnya nomor tujuh belas, ya disebut bohong dah tuh kerjaan adalah ibadah.

Misalnya lagi, kita niatkan usaha kita sebagai ibadah, boleh ga? Bagus malah. Bukan hanya boleh. Tapi kemudian kita menerima tamu, sementara Allah datang. Artinya kita menerima tamu pas waktu shalat datang, dan kemudian kita abaikan shalat, kita abaikan Allah, maka yang demikian masihkah pantas disebut usaha kita adalah ibadah? Apalagi kalau kemudian hasil kerjaan dan hasil usaha, untuk Allah-nya lebih sedikit ketimbang untuk kebutuhan-kebutuhan kita. Kayaknya perlu dipikirin lagi tuh sebutan-sebutan ibadah.

“Disebut barusan itu maksudnya jam setengah limaan ya? Saya kan baru jam 5 nih masuk ke pom bensin ini”, saya mengejar.

“Ya, kurang lebih dah“, jawab satpam.

Saya mengingat diri saya dulu yang dikoreksi oleh seorang faqih, seorang ‘alim, bahwa shalat itu harus tepat waktu. Di awal waktu. Tiada disebut perhatian sama Yang Memberi Rizki bila shalatnya tidak tepat waktu.

Aqimish shalaata lidzikrii, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.

Lalu, kita bersantai-santai dalam mendirikan shalat. Entar-entaran. Itu kan jadi sama saja dengan mengentar-entarkan mengingat Allah. Maka lalu saya ingatkan sekuriti yang entahlah saya merasa he is the man yang Allah sedang berkenan mengubahnya dengan mempertemukan dia dengan saya.

“Begini ya Kang. Kalo situ shalatnya jam setengah lima, memang untuk mengejar ketertinggalan dunia saja, jauh tuh. Butuh perjalanan satu setengah jam andai Ashar ini kayak sekarang, jam tiga kurang sedikit. Bila dalam sehari semalam kita shalat telat terus, dan kemudian dikalikan sejak akil baligh, sejak diwajibkan shalat, kita telat terus, maka berapa jarak ketertinggalan kita tuh? 5 x satu setengah jam, lalu dikali sekian hari dalam sebulan, dan sekian bulan dalam setahun, dan dikali lagi sekian tahun kita telat. Itu baru telat saja, belum kalo ketinggalan atau kelupaan, atau yang lebih bahayanya lagi kalau bener-benar lewat tuh shalat? Wuah, makin jauh saja mestinya kita dari senang”.

Percakapan ini kurang lebih begitu. Mudah-mudahan sekuriti ini paham apa yang saya omongin. Dari raut mukanya, nampaknya ia paham. Mudah-mudahan demikian juga saudara-saudara ya? He he he. Belagu ya saya? Masa omongan cetek begini kudu nanya paham apa engga sama lawan bicara?

Saya katakan pada dia. Jika dia lulusan SMU, yang selama ini telat shalatnya, maka kawan-kawan selitingnya mah sudah di mana, dia masih seperti diam di tempat. Bila seseorang membuka usaha, lalu ada lagi yang buka usaha, sementara yang satu usahanya maju, dan yang lainnya sempit usahanya, bisa jadi sebab ibadah yang satu itu bagus sedang yang lain tidak. Dan saya mengingatkan kepada pembaca untuk tidak menggunakan mata telanjang untuk mengukur kenapa si Fulan tidak shalat, dan cenderung jahat lalu hidupnya seperti penuh berkah? Sedang si Fulan yang satu yang rajin shalat dan banyak kebaikannya, lalu hidupnya susah.

Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti ini cukup kompleks. Tapi bisa diurai satu-satu dengan bahasa-bahasa kita, bahasa-bahasa kehidupan yang cair dan dekat dengan fakta. Insya Allah ada waktunya pembahasan yang demikian.

Kembali kepada si sekuriti, saya tanya, “Terus, mau berubah?”

“Mau Pak Ustadz. Ngapain juga coba saya kejar Pak Ustadz nih, kalau ga serius?”

“Ya sudah, deketin Allah dah. Ngebut ke Allah-nya”.

“Ngebut gimana?”, tanya sekuriti.

“Satu, benahin shalatnya. Jangan setengah lima-an lagi shalat Asharnya. Pantangan telat. Buru tuh rizki dengan kita yang datang menjemput Allah. Jangan sampai keduluan Allah”.

Si sekuriti mengaku mengerti, bahwa maksudnya, sebelum azan sudah standby di atas sajadah. Kita ini ingin rizkinya Allah, tapi tidak kenal sama Yang Membagikan Rizki. Contohnya ya pekerja-pekerja di tanah air ini. Kan aneh. Dia bekerja supaya dapat gaji. Dan gaji itu rizki. Tapi giliran Allah memanggil, sedang Allah-lah Tuhan yang sejatinya menjadikan seseorang bekerja, malah kelakuannya seperti tidak menghargai Allah. Bertemudengan klien kita rapih,wangi, dan persiapannya masya Allah. Eh, giliran ketemu Allah, amit-amit pakaiannya, tidak ada persiapan, dan tidak segan-segan menunjukkan wajah dan fisik lelahnya. Ini namanya tidak kenal sama Allah.

“Yang kedua,” saya teruskan.



“Yang kedua, keluarin sedekahnya.”

Saya inget betul, sekuriti itu tertawa. “Pak Ustadz, bagaimana mau sedekah, hari gini saja nih, sudah pada habis belanjaan. Hutang di warung juga terpaksa dibuka lagi. Alias sudah mulai ngambil dulu bayar belakangan.”

“Ah, entenya saja kali yang kebanyakan beban. Memang gajinya berapa?”

“Satu koma tujuh, Pak ustadz”.

“Wuah, itu mah gede banget. Maaf ya, untuk ukuran sekuriti, yang orang sering sebut orang kecil, itu udah gede”.

“Yah, kan kudu bayar motor, bayar kontrakan, bayar susu anak, bayar ini bayar itu. Emang ga cukup Pak ustadz”.

“Itu kerja gaji bisa gede, memang sudah lama kerjanya?”

“Kerjanya sih sudah tujuh tahun. Tapi gede gaji bukan karena sudah lama kerjanya. Saya ini kerjanya pagi-siang-sore-malam, ustadz”.

“Koq bisa?”

“Ya, sebab saya tinggal di mess. Jadi dihitung sama bos bagaimana gitu sampe ketemu angka 1,7 juta”.

“Terus, kenapa masih kurang?”

“Ya itu, sebab saya punya tanggungan banyak…”

“Secara dunianya, lepas saja itu tanggungan. Kayak motor. Ngapain juga ente kredit motor? Kan ga perlu?”

“Pengen kayak orang-orang, Pak Ustadz”.

“Ya susah kalau begitu mah… Pengen kayak orang-orang: motornya. Bukan ilmu dan ibadahnya. Bukan cara dan kebaikannya. Repot”.

Sekuriti ini nyengir. Memang ini motor kalau dilepas, dia punya 900 ribu. Rupanya angsuran motornya itu 900 ribu. Tidak jelas tuh dari mana dia nutupin kebutuhan dia yang lain. Kontrakan saja sudah 450 ribu sama air dan listrik. Kalau melihat keuangan model begini, ya nombok dah jadinya.

“Ya sudah, sudah keterlanjuran ya? Ok. Shalatnya bagaimana? Mau diubah?”

“Mau Ustadz. Saya benahin dah“.

“Bareng sama istri ya. Ajak dia. Jangan sendirian. Ibarat sandal, lakukan berdua. Makin cakep kalo anak-anak juga dikerahin. Ikutan semuanya membenahi shalat”.

“Siap ustadz”.

“Tapi sedekahnya tetap kudu loh“.

“Yah Ustadz. Kan saya sudah bilang, tidak ada”.

“Sedekahin saja motornya. Kalo engga, apa keq…“.

“Jangan Ustadz. Saya sayang-sayang ini motor. Susah lagi belinya. Tabungan juga ga ada. Emas juga ga punya”.

Sekuriti ini berpikir, saya kehabisan akal untuk nembak dia. Tapi saya akan cari terus. Sebab tanggung. Kalo dia hanya betulin shalatnya saja, tapi sedekahnya tetap ga keluar, lama keajaiban itu akan muncul. Setidaknya menurut ilmu yang saya dapat. Kecuali Allah berkehendak lain. Ya lain soal itu mah.

Sebentar kemudian saya bilang sama ini sekuriti, “Kang, kalo saya tunjukin bahwa situ bisa sedekah, yang besar lagi sedekahnya, situ mau percaya?”

Si sekuriti mengangguk.

“Ok, kalo sudah saya tunjukkan, mau ngejalanin?” .

Sekuriti ini mengangguk lagi. “Selama saya bisa, saya akan jalanin,” katanya, mantap.

“Gajian bulan depan masih ada ga?”

“Masih. Kan belum bisa diambil?”

“Bisa. Dicoba dulu”.

“Entar bulan depan saya hidup bagaimana?”

“Yakin ga sama Allah?”

“Yakin…”

“Ya kalau yakin, titik. Jangan koma. Jangan pakai kalau…”

Sekuriti ini saya bimbing untuk kasbon. Untuk sedekah. Sedapatnya. Tapi usahakan semua. Supaya bisa signifikan besaran sedekahnya sehingga perubahannya terasa. Dia janji akan membenahi mati-matian shalatnya. Termasuk dia akan polin shalat taubatnya, shalat hajatnya, shalat dhuha dan tahajjudnya. Dia juga janji akan lebih rajin di waktu senggang untuk membaca Al Qur’an.

Perasaan sudah lama banget dia memang ga lari kepada Allah. Shalat Jum’at saja nunggu iqomat, sebab dia sekuriti. Wah, susah dah. Dan itu dia aminin. Itulah barangkali yang sudah membuat Allah mengunci mati dirinya hanya menjadi sekuriti sekian tahun, padahal dia Sarjana Akuntansi!

Ya, rupanya dia ini Sarjana Akuntansi. Pantesan juga dia tidak betah dengan posisinya sebagai sekuriti. Tidak kena di hati. Tidak sesuai sama rencana. Tapi ya begitu dah hidup. Apa boleh buta, eh, apa boleh buat. Yang penting kerja dan ada gajinya. Bagi saya sendiri, tidak mengapa punya banyak keinginan. Asal keinginan itu keinginan yang diperbolehkan, masih dalam batas-batas wajar. Dan tidak apa-apa juga memimpikan sesuatu yang belum kesampaian sama kita. Asal apa? Asal kita barengin dengan peningkatan ibadah kita. Kayak sekarang ini, biarkan saja harga barang pada naik. Tidak usah khawatir. Ancam saja diri, agar mau menambah ibadah-ibadahnya. Jangan malah berleha-leha. Akhirnya hidup termakan dengan tingginya harga. Tidak kebagian.

***

Sekuriti ini kemudian maju ke atasannya, mau kasbon. Ketika ditanya untuk apa? Dia nyengir tidak menjawab. Tetapi ketika ditanya berapa? Dia jawab, “Pol. Satu koma tujuh (1,7 juta). Semuanya…”

“Mana bisa?” kata komandannya.

“Ya Pak, saya kan tidak pernah kasbon. Tidak pernah berani. Baru ini saya berani.”

Komandannya terus mengejar, untuk apa? Akhirnya mau tidak mau sekuriti ini menjawab dengan menceritakan pertemuannya dengan saya. Singkat cerita, sekuriti ini direkomendasikan untuk bertemu langsung dengan owner pom bensin. Katanya, kalau pakai jalur formal, dapat kasbonan 30% saja belum tentu lolos cepat. Alhamdulillah, bos besarnya menyetujui. Sebab komandannya ini ikutan merayu, “Buat sedekah katanya Pak”, begitu kata komandannya.

Subhaanallaah, satu pom bensin itu menyaksikan perubahan ini. Sebab cerita si sekuriti ini sama komandannya, yang merupakan kisah pertemuannya dengan saya, menjadi kisah yang dinanti the end story-nya. Termasuk dinanti oleh bosnya.

“Kita coba lihat, berubah ga tuh si sekuriti nasibnya”, begitulah pemikiran kawan-kawannya yang tahu bahwa si sekuriti ini ingin berubah bersama Allah melalui jalan shalat dan sedekah.

Hari demi hari, sekuriti ini dilihat oleh kawan-kawannya rajin betul shalatnya. Tepat waktu terus. Dan lumayan istiqamah ibadah-ibadah sunnahnya. Bosnya yang mengetahui hal ini, senang. Sebab tempat kerjanya menjadi barokah dengan adanya orang yang mendadak jadi shaleh begini. Apalagi kenyataannya si sekuriti tidak mengurangi kedisiplinan kerjaannya. Malah tambah cerah mukanya.

Sekuriti ini mengaku dia cerah, sebab dia menunggu janjinya Allah. Dan dia tahu janji Allah pastilah datang. Begitu katanya, menantang ledekan kawan-kawannya yang pada mau ikutan rajin shalat dan sedekah, asal dengan catatan dia berhasil dulu.

Saya tertawa mendengar dan menuliskan kembali kisah ini. Bukan apa-apa, saya demen sama yang begini. Sebab insya Allah, pasti Allah tidak akan tinggal diam. Dan barangkali akan betul-betul mempercepat perubahan nasib si sekuriti. Supaya benar-benar menjadi tambahan uswatun hasanah (contoh yang baik) bagi yang belum punya iman. Dan saya pun tersenyum dengan keadaan ini, sebab Allah pasti tidak akan mempermalukan-Nya juga, sebagaimana Allah tidak akan mempermalukan si sekuriti.

Suatu hari bos sekuriti pernah berkata, “Kita lihatin nih dia. Kalau dia tidak kasbon (hutang) saja, berarti dia berhasil. Tapi kalau dia kasbon, maka kelihatannya dia gagal. Sebab untuk apa sedekah satu bulan gaji di depan yang diambil di muka, kalau kemudian kasbon. Percuma…”

Tapi subhaanallaah, sampai akhir bulan berikutnya, si sekuriti ini tidak kasbon. Berhasilkah?

Tunggu dulu… Kawan-kawannya ini tidak melihat motor besarnya lagi. Jadi, tidak kasbonnya dia ini, sebab kata mereka barangkali aman karena menjual motor. Bukan dari keajaiban mendekati Allah. Saatnya ngumpul dengan si bos, ditanyalah si sekuriti ini sesuatu urusan yang sesungguhnya adalah rahasia dirinya.

“Benar nih, ga kasbon? Sudah akhir bulan loh. Yang lain bakalan gajian. Sedang situ kan sudah diambil bulan kemarin”.

Sekuriti ini bilang tadinya sih dia sudah siap-siap memang mau kasbon kalau sampai pertengahan bulan ini tidak ada tanda-tanda. Tapi kemudian cerita si sekuriti ini benar-benar bikin bengong semua orang.

Sebab apa? Sebab kata si sekuriti, pasca dia membenahi shalatnya, dan dia sedekah besar yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya, yakni hidupnya di bulan depan yang dia pertaruhkan. Terjadilah keajaiban…

Di kampung, ada transaksi tanah, yang melibatkan dirinya. Padahal dirinya tidak terlibat secara fisik. Sekedar memediasi saja lewat sms ke pembeli dan penjual. Katanya, dari transaksi ini, Allah persis mengganti 10 x lipat. Bahkan lebih. Dia sedekah 1,7 juta gajinya. Tapi Allah mengaruniainya komisi penjualan tanah di kampungnya sebesar 17,5 juta. Dan itu terjadi begitu cepat. Sampai-sampai bulan kemarin juga belum selesai. Masih tanggalan bulan kemarin, belum berganti bulan.  Sadar kekuatannya sampai seperti itu, akhirnya dia malu sama Allah. Motornya yang selama ini dia sayang-sayang, dia jual! Uangnya melek-melek untuk sedekah. Tuh motor dia pakai untuk memberangkatkan ibadah haji satu-satunya ibunya yang masih hidup.

Subhaanallaah kan? Itu jual motor, kurang. Sebab itu motor dijual cepat harganya tidak nyampe 13 juta. Tapi dia tambahin 12 juta dari 17 jt uang cash yang dia punya. Sehingga ibunya punya 25 juta. Tambahannya dari simpanan ibunya sendiri.

Si sekuriti masih bercerita, bahwa dia merasa aman dengan uang 5 juta sisa transaksi. Dan dia merasa tidak perlu lagi motor. Dengan uang ini, ia aman. Tidak perlu kasbon. Mendadak si bos itu yang kagum. Dia lalu mengumpulkan semua karyawannya, dan menyuruh si sekuriti ini bercerita tentang keberkahan yang dilaluinya selama satu setengah bulan ini.

Apakah cukup sampai di situ perubahan yang terjadi pada diri si sekuriti?

Tidak…

Si sekuriti ini kemudian diketahui oleh owner pom bensin tersebut sebagai sarjana S1 Akuntansi. Lalu dia dimutasi di perusahaan si owner yang lain, dan dijadikan staf keuangan di sana. Masya Allah, masya Allah, masya Allah. Berubah, berubah, berubah!

Saudara-saudaraku sekalian. Cerita ini bukan sekedar cerita tentang Keajaiban Sedekah dan Shalat saja. Tapi soal tauhid. Soal keyakinan dan iman seseorang kepada Allah, Tuhannya. Tauhid, keyakinan, dan imannya ini bekerja menggerakkan dia hingga mampu berbuat sesuatu. Tauhid yang menggerakkan! Begitu saya mengistilahkan. Sekuriti ini mengenal Allah. Dan dia baru sedikit mengenal Allah. Tapi lihatlah, ilmu yang sedikit ini dipakai sama dia, dan diyakini. Akhirnya? Jadi! Bekerja penuh untuk perubahan dirinya, untuk perubahan hidupnya.

Subhaanallaah, masya Allah…

Dan lihat juga cerita ini, seribu kali si sekuriti ini berhasil keluar sebagai pemenang, siapa kemudian yang mengikuti cerita ini? Kayaknya kawan-kawan se-pom bensinnya pun belum tentu ada yang mengikuti jejak suksesnya si sekuriti ini. Barangkali cerita ini akan lebih dikenang sebagai sebuah cerita manis saja. Setelah itu, kembali lagi pada rutinitas dunia.

Yah, barangkali tidak semua ditakdirkan menjadi manusia-manusia pembelajar. Pertanyaan ini layak juga diajukan kepada pembaca yang saat ini membaca kisah ini? Apa yang ada di benak Saudara? Biasa sajakah? Atau mau bertanya, siapa sekuriti ini yang dimaksud? Di mana pom bensinnya? Bisakah kita bertemu dengan orang aslinya? Berdoa saja. Sebab kenyataannya juga untuk saya tidak gampang menghadirkan testimoni aslinya. Semua orang punya prinsip hidup yang berbeda.

Di antara semua pembaca saja ada yang insya Allah saya yakin mengalami keajaiban-keajaiban dalam hidup ini. Sebagiannya memilih diam saja, dan sebagiannya lagi memilih menceritakan ini kepada satu dua orang saja, dan hanya orang-orang tertentu saja yang memilih untuk benar-benar terbuka untuk dicontoh. Dan memang bukan apa-apa, ketika sudah dipublish, memang tidak gampang bagi seseorang menempatkan dirinya untuk menjadi contoh.

Yang lebih penting bagi kita sekarang ini, bagaimana kemudian kisah ini mengisnpirasikan kita semua untuk kemudian sama-sama mencontoh kisah ini. Kita ngebut sengebut-ngebutnya menuju Allah. Yang merasa dosanya banyak, sudah, jangan terus-terusan meratapi dosanya. Kejar saja ampunan Allah dengan memperbanyak taubat dan istighfar, lalu mengejarnya dengan amal shalih.

***

[Catatan: Kisah ini diambil dari essay Kuliah Online Ustadz Yusuf Mansur, saya sajikan kepada pembaca semata-mata agar semoga ada manfaat dan teladan yang bisa kita ambil]





1 komentar:

  1. Subhanallah, jadi nangis saya baca ini pak...
    mohon ijin untuk saya share dgn yg lain ya, smoga bisa bermanfaat & jadi tabungan pahala.
    Jazakallah

    BalasHapus